Kamis, 29 September 2016

Kemenangan & Kekalahan

Tahun ini adalah tahun diselenggarakannya perhelatan terbesar olah raga yang diadakan setiap empat tahun sekali, olimpiade. Momen ini merupakan pembuktian bagi para elit atlit atas latihannya yang keras serta setelah melewati beberapa kompetisi regional yang sangat ketat.

Namun tidak hanya atlit saja yang berkompetisi, tapi semua manusia dan bahkan mahluk hiduppun selalu berkompetisi. Karena pada hakikatnya hidup adalah kompetisi.

Seyogyanya suatu kompetisi pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Saya yakin kita akan selalu siap untuk menerima kemenangan, menjadi juara, dan menerima reward atas usaha yang telah kita korbankan.

Di lain sisi terdapat pihak yang pasti menerima kekalahan. Di posisi inilah sikap seorang "pemenang sejati" diuji.

Berlapang dada dalam menyingkapi suatu kekalahan adalah sikap yang wajib dimiliki setiap kompetitor. Tetap berfikir positif bahwa kekalahan adalah kemenangan yang tertunda menjadi modal untuk menatap pertandingan selanjutnya.

Ada satu kesamaan yang dimiliki oleh pihak yang menang maupun yang kalah, setelah pertandingan usai mereka akan kembali ke dojo, memakai gi mereka, memukul makiwara, dan semua latihan yang menguras fisik dan mental mereka.

Yup, baik yang menang dan yang kalah akan berlatih kembali bahkan lebih keras dari sebelumnya. Sang pemenang berlatih agar ia tetap menjadi yang terbaik dan yang kalah berlatih agar menjadi yang terbaik.

"Karate wa yu no goto shi taezu natsudo wo ataezareba moto no mizu ni kaeru."
Karate ibarat air yang panas jika didiamkan maka akan menjadi dingin.

Senin, 26 September 2016

Oss...

Dalam tradisi seni beladiri karate, para praktisinya sering menggunakan sebuah kata yang penggunaannya seolah olah mencakup lebih dari satu ungkapan.

i'm sure, you're already know what it is.

Kata "osu" atau "oss" selalu diucapkan hampir seluruh karate-ka di muka bumi ini, baik itu didalam dojo, di luar dojo, saat bertemu dan berpisah dengan sempai atau kohai bahkan dengan sensei, saat menjawab suatu arahan, saat masuk dojo, dan mungkin hampir setiap kegiatan kita sehari hari, dikuti dengan membungkukkan punggung. (seriously?)

Berikut sedikit penjelasan terhadap kata "osu" yang sering kita gunakan untuk menghindari kesalah pahaman bila kita menggunakannya tidak pada tempatnya:

Terdapat beberapa pendapat terhadap sejarah penggunaan "osu" sendiri, namun menurut saya pribadi pendapat yang mendekati dengan tradisi karate adalah penjelasan dari aliran modern full contact karate yaitu Kyokushin Karate.

Menurut sang pendiri Kyokushin Karate yaitu Masutatsu Oyama; "osu" berasal dari dua kata yaitu osu yang berarti mendorong dan shinabu yang berarti menderita. Bila digabungkan dua kata tersebut menjadi kata baru yang bermakna Pantang Menyerah.

Dengan kata lain, dikarenakan dalam berlatih karate dengan menempa fisik dan mental hingga benar benar menguras energy maka sangat dilarang kita menunjukkan sikap mengeluh terhadap latihan tersebut. Maka ungkapan Osu atau Oss adalah untuk menunjukkan semangat pantang menyerah kita terhadap beratnya beban dan rintangan yang kita hadapi.

Do and don't say oss:

Bila dalam perguruan ataupun dojo anda menerapkan oss dalam interaksi antar sesama karate-ka maka lakukanlah sesuai dengan etika yang ada diperguruan anda.

Namun hendaknya tidak mengucapkan oss pada orang jepang kecuali mereka lebih muda dari anda, tingkatannya dibawah anda, atau mereka memang tidak mempermasalahkan anda mengucapkannya terhadap mereka (bila anda seorang wanita lebih baik tidak mengucapkannya sama sekali).

Di daerah asal karate yaitu okinawa jepang kata oss tidaklah digunakan dalam tradisi karate, mereka menggunakan "hai" untuk interaksi antar sesama karate-ka. Ungkapan "hai" memiliki makna konfirmasi kesanggupan seperti; iya, baik, siap laksanakan.

In the end, apapun yang anda ucapkan baik itu oss, osu, hai atau bahkan tidak ada kata khusus. yang terpenting adalah

“Karate wa rei ni hajimari, rei ni owaru.”
(Karate dimulai dan diakhiri dengan hormat)

– Funakoshi Gichin (1868-1957)

Minggu, 18 September 2016

Hiki-Te

Sejak karate diperkenalkan ke daratan utama Jepang kemudian banyak bermunculan UKM (unit kegiatan mahasiswa) di beberapa universitas di Jepang sebagai wadah bagi mahasiswa indonesia yang berkuliah di Jepang untuk berlatih karate.

Setelah para mahasiswa tersebut lulus dan kembali ke tanah air mereka mengenalkan karate sebagai seni beladiri yang amat baru. Para sensei yang sangat berjasa tersebut mulai membuka dojo dan mengajarkan ilmu yang mereka dapat.

Sayangnya sejak karate diperkenalkan di Jepang dari daerah asalnya yaitu Okinawa, sudah terdapat degradasi teknik dan hal ini berlanjut sampai dengan di tanah air tercinta.

Yang dimaksud degradasi teknik adalah kurangnya pengetahuan bagi para praktisi karate di tanah air terhadap makna yang terkandung dalam setiap teknik atau gerakan yang ada di dalam karate, baik itu kihon, kata maupun kumite.

Yuk mari kita bahas mengenai salah satu teknik dalam karate yang mungkin bagi praktisi karate sendiri tidak mengetahui makna dari gerakkan tersebut.

Sahabat smartial arts, pernahkah anda bertanya mengapa ketika kita melakukan gerakkan memukul / chudan tsuki, terdapat tangan yang pasif yang terletak disisi pinggang anda.

Bentuk tangan tersebut digunakan pada saat kita berlatih kata, kihon waza, dan bahkan kumite.

Bila kita berkaca pada seni beladiri lain seperti tinju barat, thai boxing, maupun MMA (mix martial arts) praktisinya meletakkan tangan yang pasif di depan dada atau di bawah dagu guna mempersempit sasaran kebadan dan lebih efisien untuk serangan combo.

Namun dalam karate tangan yang pasif diletakkan pada sisi pinggang. Seperti saat berlatih waza, setelah menangkis kemudian tangan yang menangkis ditaruh disisi pinggang diikuti serangan dengan tangan yang lain.

Bila dilihat pada kaca mata awam maka seolah olah memberikan ruang yang terbuka sebagai target serangan.

Kemudian apa makna dari Hiki-te ini?

Hal tersebut dapat ditelusuri dari awal teknik tersebut yaitu pada Kata. Seperti kita ketahui bahwa setiap teknik (sekecil apapun teknik tersebut) pada kata pasti memiliki maksud dan tujuan membeladiri yang efektif.

Saya akan mencoba memvisualisasikan sebagai berikut:

Dalam memperagakan kata, kita akan membayangkan seolah olah benar terdapat serangan yang nyata yang mengarah kepada kita dan serangan tersebut diterjemahkan dengan bentuk suatu tangkisan.

Tangkisan ini tidaklah diterjemahkan hanya sebagai tangkisan namun diikuti dengan menangkap serangan, menjambak ataupun mencekik kemudian menarik lawan mendekati kita kemudian diselesaikan dengan serangan yang telak kearah lawan.

teknik Hiki-te yang memang bermakna menarik tangan ini dalam sport karate tentunya dilarang, dikarenakan sifatnya yang "kotor" dan brutal. Dan memang kita akan melakukan apa saja demi membeladiri dengan teknik yang berbahaya termasuk teknik yang dalam sport karate dinilai teknik kotor.

Namun dalam teknik asli karate dan kata, teknik hiki-te ini bukanlah satu satunya pakem yang digunakan dalam membeladiri. Terdapat pula teknik yang menggunakan kedua tangan secara simultan dalam menyerang dan bertahan, teknik tersebut dalam karate modern disebut dengan morote waza.

Ok that's it

Mungkin saja ada yang tidak sependapat dengan penjelasan diatas dan itu wajar saja. Karena inti karate adalah selalu belajar maka dengan artikel kali ini diharapkan terbukanya diskusi ilmiah sehingga meningkatnya kualitas pemahaman akan teknik karate.

The day you stop learning is the day you stop living.